Kerukunan Antar Umat Beragama
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kerukunan
beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia.Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila
telah teruji sebagai alternatif yang paling tepat untuk mempersatukan
masyarakat Indonesia yang sangat majemuk di bawah suatu tatanan yang inklusif
dan demokratis.Sayangnya wacana mengenai Pancasila seolah lenyap seiring dengan
berlangsungnya reformasi.
Berbagai
macam kendala yang sering kita hadapi dalam mensukseskan kerukunan antar umat
beragama di Indonesia, dari luar maupun dalam negeri kita sendiri.Namun dengan
kendala tersebut warga Indonesia selalu optimis, bahwa dengan banyaknya agama
yang ada di Indonesia, maka banyak pula solusi untuk menghadapi
kendala-kendala tersebut.Dari berbagai pihak telah sepakat untuk mencapai
tujuan kerukunan antar umat beragama di Indonesia seperti masyarakat dari
berbagai golongan, pemerintah, dan organisasi-organisasi agama yang banyak
berperan aktif dalam masyarakat.
Keharmonisan
dalam komunikasi antar sesama penganut agama adalah tujuan dari kerukunan
beragama, agar terciptakan masyarakat yang bebas dari ancaman, kekerasan hingga
konflik agama.
B. Rumusan
Masalah
Ada 3
rumusan masalah yang akan dibajas pada makalah ini :
a. Kendala apa yang menjadi permasalahan dalam
mencapai kerukunan umat beragama di Indonesia?
b. Apa saja solusi untuk mengatasi masalah tentang
perbedaan umat beragama agar tercapai kerukunan?
c. Bagaimana
masyarakat menghadapi permasalahan/kendala dalam mencapai kerukunan antar umat
beragama di Indonesia?
C. Tujuan
Penulisan
makalah ini bermaksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Agama dan
untuk menambah wawasan para pembaca tentang kerukunan umat beragama di
Indonesia serta permasalahan yang di hadapi. Semoga Bermanfaat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kerukunan
Antar Umat Beragama
Kerukunan
merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah
perbedaan.Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan
berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan
hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis,
agardapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga,
kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan
atas/orang kaya saja.
Karena,
Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua
masalah.Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia.Mungkin faktor
yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan
hidup.Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang
agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat.Yang
paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama.
Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita
masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja
yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha
memberikan sesuatu pandangan yang optimis.Namun ketika kontak-kontak antaragama
sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru
dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap
agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain
yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau,
kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain
agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai
aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan
dan saling menghargai satu sama lain.
B. Kendala-Kendala
B.
1. Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut
Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang
ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan
(lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai
akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama,
khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif.Sehingga kalangan umat
beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja,
dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama
sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama mengakui kebenaran
agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara
yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak
langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap
kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang
dinamakan konflik.
B.
2. Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor
ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai jtujuan
sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang
paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan
antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin
berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya.
Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan
antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan
mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti
yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat
political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan
lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan
diterima di sisi-Nya.Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur
dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik
juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
B. 3. SikapFanatisme
Di
kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang.
Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman
keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis,
yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat
bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan
kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya
agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin
selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim,
menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan
semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam
agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya
sendiri-sendiri.Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada
banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama
lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang
bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif
seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama
gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan
mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini,
hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau
keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte
dalam agama tersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.[3]
Dari uraian diatas,
sangat jelas sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar dari permasalahan
yang menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan.
C. Solusi
C.
1. Diskusi dan Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah
perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir keseluruhannya
dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan
ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada
politik yang kemudian disebut sebagai sejarah konvensional dikembangkan dengan
mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan
apa yang disebut sebagai sejarah baru (new history). Sejarah model mutakhir ini
lazim disebut sebagai sejarah sosial (social history) sebagai bandingan dari
sejarah politik (political history). Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan
Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat
mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar
bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan
kedamaian, yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai
(peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir
bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan
terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi,
revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang
perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama
yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat
beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan
dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang
dipandang sebagai sebuah negara Kristen, telah berubah menjadi negara yang
secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu,
juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama
itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu
tertentu?ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang
memunculkan krisis? pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya.
Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian
lebih sering menjadi feature utama.Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya,
banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau
bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai non-agama.Bahkan
terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan
keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat
domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat
perjumpaan secara damai tersebut.Melalui berbagai pertukaran semacam ini
terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan
berdampingan secara damai.
C.
2. Bersikap Optimis
Walaupun
berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling
pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu
bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme
dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.
Paling tidak ada tiga
hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada beberapa
dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin
merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar
negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya,
di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat
Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa
menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang
lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi.Juga bermunculan
lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang
memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan
kerukunan antarpenganutnya.
Kedua,
para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru
dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan,
baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat
dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita
dewasa ini.Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para
pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau
jemaatnya.Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman
keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri.Inilah
kesalahan kita bersama.Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik
peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman
(intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan
ajaran agama.
Ketiga,
masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau
provokasi-provokasi.Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta
dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik
tertentu.Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin
teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana
wilayah politik.Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion)
dan penganutnya.Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin
agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita
untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar
teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa
dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka
setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat
berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih
sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang
telah dibahas dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa pentingnya menjaga
kerukunan antar umat beragama agar terciptanya kehidupan masyarakat yang
harmonis, kedamaian dan secara tidak langsung juga memberikan stabilitas dan
kemajuan Negara Indonesia.
Dapat
kami simpulkan berbagai macam bahasan mengenai kerukunan antar umat beragama,
yaitu: Kendala-kendala yang dihadapi dalam mencapai kerukunan umat beragama di
Indonesia ada beberapa sebab, antara lain;
-Rendahnya
Sikap Toleransi
-Adanya keikutsertaan agama demi kepentingan politik dan ;
-Sikap fanatisme
Adapun solusi untuk
menghadapinya, adalah dengan melakukan Dialog Antar Pemeluk Agama dan
menanamkan Sikap Optimis terhadap tujuan untuk mencapai kerukunan antar umat
beragama.
DAFTAR
PUSTAKA
http://cippad.usc.edu/ai/themes/cfm/culture_b
Dr. Ali Masrur, M.Ag.,2004,Problem dan Prospek
Dialog Antaragama. Artikel..cfm
Koran bali post cetak 29/12/2003.
Ansari, Zafar Ishaq & John L. Esposito, eds.,
2001, Muslims and the West: Encounter and Dialogue, Islamabad & Washington
DC., Islamic Research Institute, International Islamic University & Center
for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University
Koran bali post cetak 29/12/2003/. Hlm 3
Dr. Ali Masrur, M.Ag.Problem dan Prospek
Dialog Antaragama.Artikel.
Ansari, Zafar Ishaq & John L. Esposito,
eds., 2001, Muslims and the West: Encounter and Dialogue, Islamabad &
Washington DC., Islamic Research Institute, International Islamic University
& Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University. Hlm
57-58
Dr. Ali Masrur, M.Ag. Op. Cit.